Selasa, 10 Mei 2011

Penyuluhan dan Gender

Penyuluhan pertanian sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum merupakan hak asasi warga negara Republik Indonesia. Sektor pertanian yang berperan penting dalam pembangunan nasional memerlukan sumberdaya manusia yang berkualitas, andal, serta berkemampuan manajerial, kewirausahaan dalam melaksanakan usahanya. Dengan demikian pelaku pembangunan pertanian mampu membangun usaha dari hulu sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi dan berperan serta dalam melestarikan lingkungan usahanya sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.Penyuluhan pertanian mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan pertanian, khususnya dalam pengembangan kualitas pelaku utama dan pelaku usaha. Penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, effisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya. Sebagai kegiatan pendidikan, penyuluhan pertanian adalah upaya untuk membantu menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif bagi pelaku utama dan keluarganya, serta pelaku usaha.
Beberapa tahun belakangan ini istilah gender menjadi bahan perbincangan yang hangat di berbagai forum dan media, formal maupun informal. Hampir setiap bidang pembangunan menganjurkan dilaksanakannya analisis gender dalam komponen program. Namun, tidak sedikit pula yang masih menganggap bahwa Gender adalah sama dengan jenis kelamin atau lebih sempit lagi, gender = perempuan. Hal ini tidak mengherankan mengingat memang lebih banyak kaum perempuan yang mendapat dampak dari ketidakadilan gender dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat, daripada kaum laki-laki. Sehingga, ketika masalah gender diperbincangkan, seolah-olah hal tersebut telah identik dengan masalah kaum perempuan.
Ditinjau dari jumlah penduduk dan kondisi perempuan di Indonesia pengarusutamaan gender di dalam program-program pembangunan sangat diperlukan. Terlebih-lebih bila dilihat dari kondisi kritis yang terus berkepanjangan, dimana perempuan terkena dampak yang paling berat. Hal ini antara lain masih kuatnya budaya bahwa perempuan sebagai pengurus dan pengelola keluarga/rumah tangga. Dilihat dari kondisi perempuan Indonesia saat ini ternyata masih sangat memerlukan penanganan yang cukup serius terutama dari segi kebijaksanaan. Berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa berbagai program pembangunan masih bias laki-laki. Akibatnya program-program pembangunan yang dilaksanakan tidak dapat memenuhi sasarannya dengan tepat. Masyarakat pada umumnya belum banyak dilibatkan baik di dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan, dan hanya berperan sebagai pelaksana pembangunan. Partisipasi perempuan dalam kegiatan pembangunan relatif rendah dan masih terbatas pada aspek yang erat hubungannya dengan sektor domestik atau reproduksi. Hal ini sangat jauh dengan peran gender perempuan yang nyata di dalam masyarakat. Bahkan perempuan masih dianggap menyalahi kodrat bila memasuki dunia kebijakan atau politik. Terdapat perbedaan peran gender antara norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat dengan kenyataan yang ada, dan peran gender berbeda berdasarkan spesifik lokasi. Masih banyak dijumpai faktor sosial budaya yang membatasi kebijakan pengarusutamaan gender di dalam pembangunan, baik yang berasal dari norma-norma yang terdapat di dalam masyarakat, maupun di dalam kondisi keluarga/rumah tangga. Peran perempuan berbeda baik antara lokasi, waktu, maupun kelas sosial ekonomi. Oleh karena itu kebijaksanaan penyeragaman pembangunan merupakan suatu tindakan yang tidak efektif dan efisien.
Di dalam masyarakat agraris paling tidak ditemukan tiga pandangan/ anggapan mengenai hubungan pria-wanita di dalam masyarakat agraris (White dan Hastuti. 1980), (1) kedudukan pria-wanita itu “berbeda tetapi setara”. Di dalam pandangan ini peranan pria dan wanita adalah peran yang saling melengkapi dan untuk “kepentingan bersama”. Menurut pandangan ini, pemisahan peran dan pengaruh antar jenis kelamin mencerminkan sifat komplementer dalam upaya mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan rumah tangga dan masyarakat. Pandangan ini masih banyak dianut oleh ahli-ahli ilmu sosial, anggota masyarakat, dan dibenarkan dalam program-program pembangunan serta berbagai macam idiologi ataupun norma-norma masyarakat. Namun implementasinya ternyata jauh berbeda, karena setiap program pemerintah dianggap bermanfaat bagi keduanya, meskipun seringkali manfaat sebenarnya hanya bermanfaat bagi salah satu jenis kelamin saja. (2) “Berbeda dan tidak setara”, dua pandangan yang saling bertentangan, dimana “kekuasaan perempuan nyata tapi tersembunyi”, dan adanya “penundukan perempuan nyata tapi tersembunyi”. Konsep pembangunan yang diterapkan di seluruh dunia kini adalah konsep barat, yang pada intinya akan mengubah alam kehidupan tradisional menjadi modern yang diwujudkan dalam struktur ekonomi industri untuk menggantikan struktur ekonomi pertanian. Di dalam masyarakat seringkali perempuan menjadi warga kelas dua, dan menjadi obyek dari berbagai upaya perubahan yang disusun dalam kerangka berfikir yang mengacu pada asumsi yang sangat bias laki-laki. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang menjelaskan mengapa perempuan tertinggal atau ditinggalkan dalam proses pembangunan. Pada umumnya di dalam program-program pembangunan di tingkat provinsi, kabupaten maupun desa baik laki-laki maupun perempuan tidak dilibatkan dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan. Hampir semua program kebijaksanaan bersifat top down, sehingga masyarakat hanya tinggal sebagai pelaksana program tersebut. Norma-norma tradisional seringkali masih tetap dijadikan acuan di dalam menyususn program kebijaksanaan, dan terjadi penyeragaman kebijakan untuk pembangunan di pedesaan.
Di dalam program penyuluhan pertanian (Sukesi, et.al., 1991) ditemukan kenyataan bahwa:
1. Akses perempuan ke penyuluhan pertanian, persepsi dan aspirasi perempuan perlu masih perlu ditingkatkan
2. Pada komoditi tebu perempuan bayak berperan pada kegiatan usaha tani, sedang pada komoditi kedelai keterlibatan perempuan relatif kecil. Etnis memberikan variasi pada pembagian kerja gender pada liam komodity yang diteliti
3. Dalam penyuluhan pertanian sasaran utama adalah laki-laki
Demikian pula meskipun di bidang peternakan perempuan mempunyai peran yang cukup penting, namun partisipasinya di dalam progrm penyuluhan relatif rendah (Homzah, 1987). Secara relatif program penyuluhan yang ditujukan kepada perempuan tani di pedesaan tidak didesain khusus untuk menjangkau kelompok perempuan tani sesuai dengan fungsi dan peranannya, serta belum menerapkan pendekatan yang paling tepat untuk kelompok didik yang dituju (Sulaiman, 1997). Faktorsosial budaya yang mengakibatkan ketidaksetaraan gender dan merupakan kendala bagi perempuan telah mengakar kuat pada kehidupan sosial ekonomi dan budaya selama berabad-abad menyebabkan kurangnya kesadaran dan pemahaman gender. Secara umum akses dan kontrol perempuan pada kelembagaan dan organisasi baik yang bersifat formal maupun tradisional baru sebatas pada kelembagaan yang erat hubungan dengan peran gender perempuan. Misalnya pada organisasi PKK, arisan, pengajian dan sebagainya. Bahkan terdapat kecenderungan bahwa organisasi-organisasi yang dibentuk dan diperkenalkan oleh pemerintah baru dapat dijangkau oleh golongan rumah tangga mampu.
Agar terwujudnya kesetaraan gender adalah dari sisi perempuan sendiri, di mana masih banyak dari mereka yang belum mempunyai kesadaran tinggi untuk memperjuangkan hak-haknya disebabkan masih terpenjara oleh ideologi patriarkhi. Akibatnya, mereka belum dapat mengoptimalkan potensi yang mereka miliki. Pada gilirannya kondisi ini menyebabkan Human Development Index (HDI) Indonesia (yang dilihat dari tingkat pendidikan, kesehatan dan ekonomi) masihrendah, jauh lebih rendah di bawah negara tetangga kita seperti Singapura dan Malaysia.
Meskipun tidak secara eksplisit Penulis buku ini menyebutkan perlunya sebuah proses penyuluhan berperspektif gender, akan tetapi dari runtutan penuturannya, tampak bahwa salah satu upaya menumbuhkan kesadaran dan motivasi diri di kalangan kaum perempuan adalah melalui proses penyuluhan, tepatnya penyuluhan yang berperspektif gender. Artinya, suatu penyuluhan yang berorientasi pada upaya memberdayakan kaum perempuan dan sekaligus menjembatani kesenjangan gender yang ada di banyak bidang. Dengan paradigma tersebut, maka seorang penyuluh diharapkan tidak melakukan langkah-langkah yang masih buta gender. Sebagai contoh, dengan fakta bahwa kaum perempuan juga terlibat dalam bidang pertanian, maka seorang penyuluh pertanian hendaknya juga memiliki komitmen untuk ikut memberdayakan petani perempuan. Demikian juga untuk bidang-bidang lainnya. Atas dasar hal tersebut, maka buku ini juga perlu dibaca oleh mereka-mereka yang terlibat dan concern di bidang penyuluhan, termasuk para pembuat kebijakan dan akademisi.

Sumber :
• http://feati.deptan.go.id/dokumen/pedoman_fma.pdf
• http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/%288%29%20soca-endang-hambatan%20sosbud%281%29.pdf
• http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/42845/Resensi%20Buku.pdf?sequence=1

Senin, 09 Mei 2011

mengembang dan mengerut tanah


Mengembang dan mengerut salah satu sifat fisik tanah. Dimana sifat mengembang ditandai dengan terisinya semua ruang pori-pori tanah baik makro maupun mikro oleh molekul-molekul air dan gejala ini terjadi ketika tanah dalam keadaan basah. Sedang sifat mengerut tanah terjadi ketika tanah dalam keadaan kering setelah basah yang ditandai dengan semakin mengecilnya pori-pori tanah pada waktu mengerut.
Sifat mengembang pada tanah, selain pori-pori tanah yang terisi oleh air, juga retakan-retakan yang ada pada tanah. Pengembangan yang menyebabkan tertutupnya pori-pori tanah makro dan retakan tanah, mengakibatkan tanah kurang mampu menyerap air sehingga kelebihan air hujan akan menimbulkan aliran permukaan yang besar dan akibat yang lebih besar adalah terjadinya banjir yang dapat membahayakan kesuburan tanah dan bahkan kehidupan manusia.
Beberapa jenis tanah mempunyai sifat mengembang dan mengerut sehingga mengalami pecahan-pecahan pada musim kering. Sifat mengembang dan mengerut tanah disebabkan oleh kandungan mineral dari monmorilonit yang tinggi dan rendah. Besarnya pengembangan dan pengerutan pada tanah dinyatakan dengan Cole. Mineral dibedakan menjadi dua yaitu mineral primer dan mineral sekunder. Mineral primer adalah mineral asli yang terdapat dalam batuan yang melapuk yang terdiri dari fraksi-fraksi pasir dan debu. Mineral sekunder adalah mineral primer yang menghasilkan mineral baru yang esensial untuk perkembangan dan penyuburan yang umunya terdapat dalam fraksi liat yang sering ditemukan dalam tanah antara lain kaolinit, haloisit, montmorillonit, gibsit (Al Oksida), Fe Oksida dan lain-lain. Mineral liat sekunder besar pengaruhnya terhadap sifat-sifat fisik tanah seperti kapasitas tukar kation, daya mengembang dan mengerut tanah dan lain-lain (Hardjowigeno, 2003).
Mengembang dan mengerut merupakan ciri ke tiga dan ke empat dari lempung silikat. Sifat ini menyebabkan oleh kandungan air relatif, terutama yang berada diantara satuan-satuan struktur misel. Mengembang dan mengerut, kohesi dan plastisitas berhubungan erat satu sama lain. Ciri-ciri ini tergantung tidak hanya pada campuran lempung dalam tanah dan kation diadsorpsi yang menguasai akan tetapi juga sifat dan jumlah humus yang terdapat bersama koloida anorganik (Buckman, 1982).
Tanah Alfisol memiliki horizon argilik dan terletak di kawasan yang tanahnya paling dari 35% di dalam horizon argilik. Alfisol berarti bahwa basa-basa dilepaskan ke dalam tanah oleh pengikisan hampir secepat basa-basa yang terlepas karena tercuci dengan demikian Alfisol menempati peringkat yang hanya sedikit lebih rendah dari pada Millisol untuk pertanian. Pada tanah Alfisol yang bertekstur liat akan mengandung pori mikro yang lebih banyak sehingga tanah tersebut mampu memegang air lebih banyak yang akan mempengaruhi tingkat pengerutan tanah. Tanah yang mengandung mineral liat mempunyai sifat mengembang dan mengerut. Tanah Alfisol mempunyai sifat mengembang bila basah dan mengerut bila kering. Akibatnya pada musim karena tanah mengerut akan terjadi pecah-pecah, sifat mengembang dan mengerutnya tanah disebabkan oleh kandungan mineral liat dan montmorilonit yang sangat tinggi (Foth, 1988).
Mineral liat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu liat silikat dan liat oksida. Tanah yang mengandung mineral liat mempunyai sifat mengembang bila basah dan mengerut bila kering. Akibatnya pada kering karena tanah mengerut akan menjadi pecah-pecah, sifat mengembang dan mengerut tanah disebabkan oleh kandungan mineral liat dan montmorilonit. Mineral liat juga dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis tipe yaitu : 1 : 1 adalah struktur mineral liat yang tersusun atas silikat tetrahedral dan satu lempeng oktahedral seperti Kaolinit dan Haloisit. Tipe 2 : 1 yaitu struktur mineralnya tersusun atas dua lapisan Silikat tetrahedral dan satu alumina, Oktahedron, seperti montmorilonit, mika dan illit. Tipe campuran yang teratur dimana struktur liatnya tersusun atas lapisan-lapisan yang berlainan secara bergantian. Dan tipe yang terakhir yaitu dengan struktur rantai yang tersusun atas
Silika tetrahedron dan aluminium oktahedron tiga buah (Hakim, 1986).
Mengembang dan mengerut merupakan ciri ke tiga dan ke empat dari lempung silikat. Sifat ini menyebabkan oleh kandungan air relatif, terutama yang berada diantara satuan-satuan struktur misel. Mengembang dan mengerut, kohesi dan plastisitas berhubungan erat satu sama lain. Ciri-ciri ini tergantung tidak hanya pada campuran lempung dalam tanah dan kation diadsorpsi yang menguasai akan tetapi juga sifat dan jumlah humus yang terdapat bersama koloida anorganik (Buckman, 1982).
Montmorilonit terdiri dari dua lapis silika dengan lapisan alumina terikat erat oleh atom oksigen yang dimana struktur terikat begitu lepas oleh penghubung oksigen yang sangat lemah, sehingga kisi hablur seperti puputan mengembang sangat mudah. Akibat hablur montmorilonit dapat mudah pecah menjadi butir-butir yang besarnya mendekati satuan struktur tunggal. Montmorilonit akan berkerut jika dikeringkan, butir-butirnya berkeping halus dan mudah didispersikan (Foth, 1988).
Montmorilonit mengakibatkan tanah Inceptisol mempunyai sifat mengembang dan mengerut dengan penjenuhan dan pengeringan. Potensi pengembangan dan pengerutan tanah berkaitan erat dengan tipe dan jumlah liat dalam tanah. Tanah Inceptisol yang banyak mengandung mineral liat akan memperlihatkan sifat mengembang pada waktu basah karena kation-kation dan molekul air mudah masuk pada rongga antara kristal mineral. Tanah yang mengembang selalu banyak liat, dimana mungkin saja mempunyai kemampuan yang tinggi menyimpan air, akan etapi peredaran udara dalam tanah atau aerase tidak baik, penambahan bahan organik akan mengurangi masalah kekurangan air pada tanah berpasir. Bahan organik membantu mengikat butiran liat dan membentuk ikatan yang lebih besar sehingga memperbesar ruang-ruang udara diantara ikatan butiran (Pairunan, dkk, 1997).
Di daerah tropika dimana proses pembentukan terganggu atau diperlambat oleh musim kering dan terjadi pengerutan yang ditemukan pada daerah debu Alopan. Pada daerah tropika yang lebih basah Inceptisol dijumpai secara lokal berasosiasi dengan ordo tanah lainnya yang lebih berkembang dan terdapat pada posisi geomorfik khusus yang berhubungan dengan kegiatan erosi aktif dan sedimentasi (Lopulisa, 2004).
Persentase pengembangan tanah Alfisol pada lapisan I sebesar 33,3 % dan persentase pengerutan sebesar 1,5 %. Berdasarkan data yang terlihat maka dapat dikatakan bahwa tanah pada lapisan I ini mengalami pengembangan dan pengerutan. Pengembangan terjadi karena tertutupnya pori-pori tanah oleh air setelah mengalami keretakan sedangkan pengerutan terjadi karena adanya pengeringan pada tanah yang telah mengembang dan akan retak apabila persentase pengerutannya besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Hardjowigeno (1995) yang menyatakan bahwa beberapa jenis tanah mempunyai sifat mengembang dan mengerut dan mengalami pecah-pecah pada musim kering.
Persentase pengembangan tanah pada lapisan II tanah Alfisol adalah sebesar 30 % dan pengerutan sebesar 2,1 %. Persentase pengembangan pada lapisan II mengalami penurunan bila dibandingkan dengan lapisan I, akan tetapi persentase pengerutan pada lapisan II mengalami peningkatan dari lapisan I maupun lapisan III. Pengerutan seharusnya lebih tinggi pada lapisan I karena lapisan I mendapat penyinaran yang lebih banyak daripada lapisan II. Akan tetapi pada percobaan ini justru lapisan II yang memiliki persentase pengerutan yang lebih tinggi dari kedua lapisan. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Foth (1994) yang menurutnya persentase pengerutan tertinggi berada pada lapisan I sebagai silikat dari proses penguapan air tanah yang tinggi pada lapisan.
Persentase pengembangan tanah pada lapisan III tanah Alfisol yaitu sebesar 26,7 % dan persentase pengerutan sebesar 1,4 %. Persentase pengembangan dan pengerutan pada lapisan III ini lebih kecil bila
dibandingkan dengan persentase pengembangan dan pengerutan pada II lapisan di atasnya. Ini terjadi karena kandungan bahan organik pada lapisan III sangat rendah yang bisa menyebabkan mengecilnya ruang pori tanah pada lapisan III. Hal ini sesuai dengan pendapat Buckman (1982) yang menyatakan bahwa sifat mengembang dan mengerut tidak hanya disebabkan oleh campuran lempung dalam tanah dan kation diadsorpsi yang menguasai akan tetapi juga sifat dan jumlah humus yang terdapat bersama koloida anorganik.
DAFTAR PUSTAKA
Buckman, H., 1982. Ilmu Tanah. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
Foth, H.D., 1988. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Hakim, N.M., 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung.
Hardjowigeno, S., 2003. Ilmu Tanah. Akapres, Jakarta.
Lopulisa, Christianto., 2004. Tanah-Tanah Utama Dunia. Lhepas, Makassar.
Pairunan, A.K,. 1997. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. BKPTN – IT, Makassar


Minggu, 08 Mei 2011

BIJI


“BIJI”
Biji (bahasa Latin:semen) adalah bakal biji (ovulum) dari tumbuhan berbunga yang telah masak. Biji dapat terlindung oleh organ lain (buah, pada Angiospermae atau Magnoliophyta) atau tidak (pada Gymnospermae). Dari sudut pandang evolusi, biji merupakan embrio atau tumbuhan kecil yang termodifikasi sehingga dapat bertahan lebih lama pada kondisi kurang sesuai untuk pertumbuhan. (Lihat pergiliran keturunan).
Dalam pembelajaran biologi berkaitan dengan cara mencari tahu dan memahami tentang alam sekitar secara sistematis, sehingga ilmu biologi bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta konsep, penemuan pendidikan biologi diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari dirinya sendiri dan alam sekitar beserta isinya yang terdiri dari dua macam yaitu makhluk hidup (biotik) dan makhluk tidak hidup (abiotik) (Bambang, 1998)

Tumbuhan Biji Tinggi merupakan salah satu cabang biologi yang mempelajari tentang tumbuhan dan proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuh-tumbuhan yang menyebabkan tumbuhan tersebut dapat hidup atau mati serta berkembang. Taksonomi tersebut membedakan antara tingkat tumbuhan dari tingkat rendah dan tinggkat tinggi.

Dengan mempelajari taksonomi tumbuhan, kita dapat membedakan berbebagai jenis tumbuhan yang termasuk tumbuhan tingkat rendah dan tumbuhan tinggkat tinggi. Pada dasarnya gejala di tampakkan oleh tumbuhan dapat di terang berdasarkan prinsip-prinsip kimia dan fisika, beberapa proses metabolisme tubuh dapat dijelaskan secara rinci tentang prinsip-prinsip kimia dan fisika yang terlibat di mana penjelasan ini telah dapat diterima oleh para ahli fisiologi tumbuan dengan tampa keraguaan.

A. Pengertian Spermatophyta 
Spermatophyta berasal dari bahasa Inggris yang berarti tumbuhan berbiji. Sedangkan di Indonesia banyak sekali ditemukan berbagai jenis tumbuhan berbiji yang sampai saat ini tetap dipelihara dan dikembangkan.

Dalam sistem taksonomi modern, kelompok tumbuhan ditempatkan pada berbagai takson. Selain Angiospermae, kelompok ini disebut juga dengan Anthophyta ("tumbuhan bunga"). Sistem Wettstein dan Sistem Engler menempatkan Angiospermae pada tingkat subdivisio. Sistem Reveal memasukkan semua tumbuhan berbunga dalam subdivisio Magnoliophytina, namun pada edisi lanjut memisahkannya menjadi Magnoliopsida, Liliopsida, dan Rosopsida. Sistem Takhtajan dan sistem Cronquist memasukkan kelompok ini ke dalam tingkat divisio dengan nama Magnoliophyta.

Sistem Dahlgren dan sistem Thorne (1992) menggunakan nama Magnoliopsida dan meletakkannya pada tingkat kelas. Saat ini, sistem klasifikasi yang paling akhir, seperti sistem APG (1998) dan sistem APG II (2003), tidak lagi menjadikannya sebagai satu kelompok takson tersendiri melainkan sebagai suatu klade tanpa nama botani resmi dengan nama angiosperms (sistem ini menggunakan nama-nama bahasa Inggris atau diinggriskan untuk nama-nama tidak resmi).

Klasifikasi internal kelompok ini mengalami banyak perubahan. Sistem klasifikasi Cronquist (1981) masih banyak dipakai tetapi mulai dipertanyakan keakuratannya dari sisi filogeni terutama karena bertentangan dengan hasil-hasil penyelidikan molekular. Kesepakatan umum tentang bagaimana tumbuhan berbunga dikelompokkan mulai tercapai sejak hasil "Angiosperm Phylogeny Group" (APG) dikeluarkan pada tahun 1998 dan diperbaharui pada tahun 2003 sebagai Sistem klasifikasi APG II.

    Sistem APG, yang menggunakan konsep kladistika dan banyak memakai metode pengelompokan statistika (clustering) serta memasukkan data-data molekular, mendapati bahwa monokotil merupakan kelompok monofiletik atau holofiletik, dan menamakannya monocots (bentuk jamak dari monocot), tetapi dikotil ternyata tidak demikian (disebut sebagai kelompok bersifat parafiletik). Meskipun demikian terdapat kelompok besar dikotil yang monofiletik yang dinamai eudicots atau tricolpates. Nama eudicot berarti "dikotil sejati" karena menunjukkan ciri-ciri yang biasa dinyatakan sebagai ciri khas dikotil, seperti bunga dengan empat atau lima mahkota bunga dan empat atau lima kelopak bunga. Sisa dari pemisahan ini, yang tetap parafiletik, biasa dinamakan sebagai paleodicots (paleo- berarti "purba" atau "kuno") untuk kemudahan penyebutan.

B. Ciri-ciri Spermatophyta 

Spermatophyta mempunyai ciri antara lain :
1. Makroskopis dengan ketinggian bervariasi
2. Bentuk tubuhnya bervariasi
3. Cara hidup fotoautotrof
4. Habitatnya kebanyakan di darat tapi ada juga yang mengapung di air (teratai)
5. Mempunyai pembuluh floem dan xilem
6. Reproduksi melalui penyerbukan (polinasi) dan pembuahan (fertilisasi). 

Berdasarkan uraian ciri-ciri di atas dapat penulis pahami bahwa Spermatophyta termasuk tumbuhan tinggkat tinggi yang memiliki ketiggian serta bentuknya yang bervariasi serta mempunyai habitat di darat dan memiliki floem serta xilem yang  dapat menggunakan penyerbukan dan pembuahan.


Tumbuhan biji dibedakan menjadi dua golongan yaitu tumbuhan berbiji terbuka (Gymnospermae) dan tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae).

a.    Gymnospermae (tumbuhan berbiji terbuka)

Ciri-ciri gymnospermae tidak mempunyai bunga sejati, tidak ada mahkota bunganya. Bakal biji terdapat di luar permukaan dan tidak dilindungi oleh daun buah, merupakan tumbuhan heterospora yaitu menghasilkan dua jenis spora berlainan, megaspora membentuk gamet betina, sedangkan mikrospora menghasilkan serbuk sari, struktus reproduksi terbentuk di dalam strobilus. Dalam reproduksi terjadi pembuahan tunggal.

   Gymnospermae dibagi dalam empat kelompok yaitu pinophyta, cycadophyta, ginkgophyta dan gnetophyta. Pinophyta dikenal sebagai konifer, menghasilkan resin/getah, monoesis, daun berbentuk jarum, contohnya Pinus sp. Cycadophyta hidup di daerah tropis dan subtropis, diesis, contohnya Cycas revoluta, Cycas rumphii, Encephalartos transvenosus.

    Ginkgophyta hanya mempunyai satu spesies di dunia ini yaitu Ginkgo biloba, diesis, biji tidak di dalam rujung benar-benar terbuka ke udara bebas. Gnetophyta berbeda dengan kelompok lainnya karena memiliki pembuluh kayu untuk mengatur air pada bagian xilemnya. Contohnya Gnetum gnemon, Epherda dan Welwitschia.

•    Manfaat Gymnospermae
Ada beberapa manfaat gymnospermae yaitu :

a.    Untuk industri kertas dan korek api (Pinus dan Agathis)
b.    Untuk obat-obatan (Pinus, Ephedra, Juniperus)
c.    Untuk makanan (Gnetum gnemon)
d.    Tanaman hias (Thuja, Cupressus, Araucaria).
b.    Angiospermae (tumbuhan berbiji tertutup)

Angiospermae memiliki ciri antara lain :

•    Memiliki bakal biji atau biji yang tertutup oleh daun buah
•    Mempunyai bunga sejati
•    Umumnya tumbuhan berupa pohon, perdu, semak, liana dan herba.
•    Dalam reproduksi terjadi pembuahan ganda.

Sedangkan dilihat dari strukturnya Angiospermae dibedakan menjadi dua yaitu :

a.    Monocotyledoneae (berkeping satu)
Monocotyledoneae dengan ciri khas antara lain :

1)    Mempunyai biji berkeping satu
2)    Berakar serabut
3)    Batangnya dari pangkal sampai ujung hampir sama besarnya.
4)    Tidak bercabang.
5)    Akar dan batang tidak berkambium.

Sebagai contoh misalnya : Oryza sativa (padi), Zea mays (jagung), Musa paradisiaca (pisang), Cocos nucifera (kelapa).

b.    Dicotyledoneae (berkeping dua).
Dicotyledoneae dengan ciri khas antara lain :

1)    Mempunyai biji jumlah kepingnya dua
2)    Berakar tunggang
3)    Batang dari pangkal besar makin ke atas makin kecil.
4)    Batang bercabang
5)    Akar dan batang berkambium.

Sebagai contoh misalnya : Casia siamea (johar), Arachis hypogea (kacang tanah), Psidium guajava (jambu biji), Ficus elastica (karet).

C.    Pengelompokan Spermatophyta

    Dalam klasifikasi tumbuhan modern, Gymnospermae tidak memiliki status taksonomi karena banyak petunjuk bahwa tumbuhan berbunga (Angiospermae, tumbuhan berbiji tertutup) adalah keturunan dari salah satu tumbuhan berbiji terbuka. Pemisahan antara tumbuhan berbiji terbuka dengan berbiji tertutup akan menyebabkan pemisahan yang parafiletik.

Gymnospermae mencakup tiga divisio yang telah punah dan empat divisio yang masih bertahan:
  • Bennetophyta, punah
  • Cordaitophyta, punah
  • Pteridospermophyta, sudah punah namun dianggap sebagai moyang Angiospermae
  • Ginkgophyta, dengan hanya satu jenis yang masih bertahan: Ginkgo biloba
  • Cycadophyta, pakis haji dan kerabatnya
  • Pinophyta, tumbuhan runjung
  • Gnetophyta, dengan anggota hanya dua genus: Gnetum (melinjo dan kerabatnya) dan Welwitschia


Sepuluh besar suku tumbuhan menurut banyaknya jenis adalah sebagai berikut:
  1. Asteraceae atau Compositae (suku kenikir-kenikiran): 23.600 jenis
  2. Orchidaceae (suku anggrek-anggrekan): 21.950
  3. Fabaceae atau Leguminosae (suku polong-polongan): 19.400
  4. Rubiaceae (suku kopi-kopian): 13.183
  5. Poaceae, Glumiflorae, atau Gramineae (suku rumput-rumputan): 10.035
  6. Lamiaceae atau Labiatae (suku nilam-nilaman): 7.173
  7. Euphorbiaceae (suku kastuba-kastubaan): 5.735
  8. Cyperaceae (suku teki-tekian): 4.350
  9. Malvaceae (suku kapas-kapasan): 4.225
  10. Araceae (suku talas-talasan): 4.025

    Kesepuluh suku di atas mencakup beragam jenis tumbuhan penting dalam kehidupan manusia, baik dalam bidang pertanian, kehutanan maupun industri. Suku rumput-rumputan jelas merupakan suku terpenting karena menghasilkan berbagai sumber energi pangan bagi manusia dan ternak dari padi, gandum, jagung, jelai, haver, jewawut, tebu, serta sorgum. Suku polong-polongan menempati tempat terpenting kedua, sebagai sumber protein nabati dan sayuran utama dan berbagai peran budaya lain (kayu, pewarna, dan racun). Suku nilam-nilaman beranggotakan banyak tumbuhan penghasil minyak atsiri dan bahan obat-obatan.

Berdasarkan uraian  di atas dapat penulis simpulkan bahwa :
  1. Spermatophyta berasal dari bahasa Inggris yang berarti tumbuhan berbiji. Sedangkan di Indonesia banyak sekali ditemukan berbagai jenis tumbuhan berbiji yang sampai saat ini tetap dipelihara dan dikembangkan.
  2. Spermatophyta mempunyai ciri antara lain :Makroskopis dengan ketinggian bervariasi, Bentuk tubuhnya bervariasi, Cara hidup fotoautotrof, Habitatnya kebanyakan di darat tapi ada juga yang mengapung di air (teratai), Mempunyai pembuluh floem dan xilem, Reproduksi melalui penyerbukan (polinasi) dan pembuahan (fertilisasi). 
  3. Gymnospermae mencakup tiga divisio yang telah punah dan empat divisio yang masih bertahan:Bennetophyta, Cordaitophyta, Pteridospermophyta, Angiospermae, Ginkgophyta, Cycadophyta, Pinophyta, Gnetophyta, Gnetum (melinjo dan kerabatnya) dan Welwitschia
Sumber : http://aadesanjaya.blogspot.com/2010/06/tumbuhan-biji-spermatophyta.html

Jumat, 06 Mei 2011

CINTA

Cinta,............
Apa itu Cinta.............????
Cinta itu apa..............????
Cinta itu ialah Fitrah, Suci, dan Rasa Sayang
Cinta membuat segalanya menjadi Indah
Cinta bisa juga membuat segalanya menjadi buruk
Cinta itu muncul karena adanya rasa sayang
Nikmatilah hidup ini dengan cinta dan kasih sayang





laporan reduksi oksidasi


I.PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
               Difusi gas dalam air berjalan sangat lambat ,sekitar 10 kali lebih kecil dari kecepatan difusi pada fase gas .kecepatan difusi O2  dalam air sering kali jauh lebih rendah dari kecepatan konsumsi O2  oleh tanah dalam hal ini mikroorganisme .Kondisi seperti ini menyebabkan terbentuknya lapisan oksidasi di bagian di bagian lapisan oksidasi di bagian atas dan lapisan reduksi di bawah lapisan atas tanah .Pada lapisan teroksidasi dijumpai oksigen bebas (O2), tetapi lapisan reduksi O2  tidak ada .
Di dalan tanah proses pembentukan oksidasi dan reduksi sangat berhubungan erat oksigen tanpa oksigen proses oksidasi tidak dapat berlangsung hal ini di karenakan pada proses oksidasi dan reduksi ,oksigen berperang sebagai unsur yang  menjalankan reaksi pada proses oksidasi dan reduksi.Reaksi oksidasi dan reduksi dalam tanah  biasanya digunakan dalam kompleks pada pembentukan lapisan tanah ,reaksi ini bertindak sebagai sumber ion – ion penyusun unsure dalam lapisan oksidasi dan reduksi dalam tanah. 
         Pada lapisan tanah yang mengalami proses reduksi ,prosesnya dijalankan dalam pelarut lamban atau dalam cairan murni, dan menggunakan katalis  Ni, Pd, atau Pt . Hidrogenasi gugus karbonal atau keton jauh lebih lambat daripada hidrogenesis ikatan rangkap karbon- karbon . Di dalam tanah Aldehida berperang sebagai senyawa organic yang paling mudah teroksidasi ,dengan mudah teroksidasi menjadi asam karboksilat oleh berbagai agen pengoksidasi , bukan hanya oleh pereaksi- pereaksi tetapi juga oleh agen pengoksidasi yang relatif  lemah seperti ion perak dan ion tembaga.
           Reaksi ini digunakan untuk membedakan antara reaksi pembentukan lapisan oksidasi atau lapisan reduksi yang terjadi pada tanah .Keadaan pada proses pembentukan lapisan reduksi ditandai ditandai oleh terbentuknya lapisan perak pada wadah atau tabung reaksi .Reaksi ini pula digunakan dalam proses pembuatan permin perak. Demikian pula dengan kodensasi pada lapisa oksidasi tanah yang reaksinya membentuk senyawa karboksilat sehingga edisi terhadap ikatan rangkap karbon oksigen melibatkan serangan suatu nukleofil pada karbonil . Pemberian kapur, sehingga pH meningkat diatas 5,0 akibatnya aktivitas bakteri pengoksidasi terhambat.

1.2. Tujuan dan kegunaan
Tujuan dari praktikum Pembentukan Lapisan Oksidasi dan Reduksi adalah menetapkan pembentukan proses Oksidasi dan Reduksi pada tanah Alfisol untuk dapat dimanfaatkan pada tumbuhan melakukan aktivitas.
Kegunaan dari praktikum Pembentukan Lapisan Oksidasi dan Reduksi adalah memberi informasi tentang Pembentukan Lapisan Oksidasi dan Reduksi pada jenis-jenis tanah yang dapat menentukan jenis suatu komoditas yang dapat dikembangkan pada tanah tersebut.














II. TINJAUAN PUSTAKA

          Proses reduksi sulfat menjadi sulfida dapat terjadi pada kondisi pH di atas 4 hingga 5, pada pH di bawah itu reaksi terjadi sangat lambat dan bahkan tidak ada. Reduksi sulfat seringkali terjadi pada tanah sulfat masam yang masih muda dan sulfat masam lanjut yang lama tergenang. Reduksi sulfat ini sangat berkaitan dengan adanya hasil dekomposisi bahan organik yang masih baru. H2S yang terbentuk sangat beracun bagi tanaman, pada konsentrasi 0,1 mg l-1 H2S sudah dapat meracuni tanaman padi dalam larutan hara (Mitsui, 1964 dalam van Breemen, 1993).
Mempercepat proses reduksi sulfat dan besi, dengan menciptakan kondisi lingkungan yang diperlukan oleh bakteri tersebut. Hasil reduksi tersebut dikeluarkan dari lahan melalui air drainase saat air surut. Reduksi sulfat tersebut dimedia oleh organisme yang diketahui secara kolektif sebagai bakteri pereduksi sulfur (SRB). SRB merupakan bakteri obligat anaerob yang menggunakan H2 atau organik sebagai donor elektron (chemolithotrophic). Kelompok organisme pereduksi sulfat ini secara generik diberi nama awal dengan “desulfo”, dimana SO42- sebagai aseptor elektron. Bakteri tersebut berasal dari genus Desulfovibrio dan Desulfotomaculum yang merupakan organisme heterotrophic, yang menggunakan sulfate, thiosulphate (S2O3) dan sulfide (SO3-) atau ion yang mengandung sulfur tereduksi sebagai terminal aseptor elektron dalam proses metabolisme(Anonim, 2010).
Bakteri tersebut memerlukan subtrat organik yang berasal dari asam organik berantai pendek seperti asam laktat atau asam piruvat. Dalam kondisi alamiah,  asam tersebut dihasilkan oleh aktivitas fermentasi dari bakteri anaerob lainnya. Laktat digunakan oleh SRB selama respirasi anaerobik untuk menghasilkan acetat . H2S tersebut berguna untuk mengendapkan Cu.    Proses utama yang terjadi bila tanah sulfat masam teroksidasi adalah oksidasi pirit. Reklamasi lahan rawa melalui pembuatan saluran drainase mengakibatkan perubahan kimia di dalam tanah sulfat masam(Foth, 1998).
Pirit yang semula tidak berbahaya pada kondisi tergenang, secara perlahan berubah menjadi unsur beracun dan merupakan sumber kemasaman tanah bila kondisi tanah berubah menjadi oksidatif. Kecepatan oksidasi pirit cenderung bertambah dengan menurunnya pH tanah. Pada pH di bawah 4, proses oksidasi terhambat oleh suplai O2. Kecepatan penurunan pH akibat oksidasi pirit tergantung pada  jumlah pirit, kecepatan oksidasi, kecepatan perubahan bahan hasil oksidasi, dan   kapasitas netralisa (van      Breemen,  1993).
         Di dalam tanah, berbagai tingkatan oksidasi yang berlangsung tidak terjadi
pada titik yang sama. Pengujian secara mikro-morfologi menunjukkan bahwa ada perbedaan/batas yang nyata antara lokasi beradanya pirit dan bahan hasil oksidasinya seperti jarosit, besi oksida, dan gipsum. Pirit biasanya terdapat di dalam inti dari ped, sedangkan jarosit, besi oksida, dan gipsum terdapat pada permukaan ped dan ruang pori. van Breemen (1976) menduga bahwa oksigen bereaksi dengan Fe2+ terlarut membentuk Fe3+ terlebih dahulu sebelum bertemu dengan pirit(Hanafia, 2005).
Adanya proses oksidasi senyawa pirit dan proses reduksi dari hasil oksidasi tersebut membawa berbagai dampak negatif bagi pertumbuhan tanaman dan lingkungan sekitarnya. Karena itu perlu dilakukan upaya penanggulangan agar dampak negatif tersebut dapat ditekan seminimal mungkin tanpa banyak mengurangi tingkat produksi padi. Dalam proses oksidasi-reduksi pada tanah sulfat masam, terlihat betapa besarnya peran dari mikroorganisma, karena itu pendekatan pengelolaan tanah sulfat masam melalui mikroorganisma(Foth,1994).
            Mencegah atau memperlambat terjadi proses oksidasi, yaitu mencegah kerja dari bakteri pengoksidasi tersebut, melalui. Pemberian bakterisida. Aktivitas bakteri pengoksidasi dapat ditekan melalui pemberian bakterisida yang spesifik. Hasil pengujian Polford et al. (1988) mendapatkan bahwa bakterisida seperti Panasida (2,2’ dyhydrpxy 5,5’ dichlorophenylmethane) dan deterjen efektif mencegah kerja bakteri pengoksidasi Thiobacillus ferrooxidans. Selain itu,  pemberian NaN3 dan N-ethylmaleimide (NEM) mampu menghambat oksidasi Fe2+ dan So(Hardjowigeno,2003).
             Mengurangi suplai oksigen melalui penggenangan, sehingga kerja bakteri pengoksidasi terhambat.Adanya udara mempercepat oksidasi S yang menyebabkan pH turun kurang dari 1. Kemasaman ini menyebabkan masalah pada organisme lain dan melarutkan logam-logam berat, sehingga lahan tidak layak digunakan untuk pertanian, tetapi berguna untuk menghambat Streptomyces scabies penyebab penyakit pada kentang.  kondisi optimum untuk oksidasi pirit sama dengan kondisi optimum untuk oksidasi besi oleh Thiobacillus ferrooxidans yaitu konsentrasi oksigen > 0,01 Mole fraksi (1%), temperatur 5-55oC (optimal 30oC), pH 1.5-5.0 (optimal 3.3). Bakteri tersebut adaptif pada pH rendah (optimum untuk pertumbuhannya 2-3) dengan konsentrasi besi ferro yang tinggi, besi tersebut digunakan sebagai donor elektron, dimana pengaruh pH pada konsentrasi besi direpleksikan dengan energi yang dihasilkan(Hanafia, 2005).
          Pemberian kapur, sehingga pH meningkat diatas 5,0 akibatnya aktivitas bakteri pengoksidasi terhambat, karena meningkatnya populasi bakteri lainnya yang dapat menyaingi dalam pengambilan berbagai kebutuhan hidupnya seperti oksigen dan lainnya. Terjadi suksesi bakteri dengan perubahan pH tanah. pH yang cocok untuk habitat Thiobacillus ferrooxidans adalah 1,5-3,5, dengan suhu optimal 30-35oC. Pada pH 3,5-4,5 didominasi oleh bakteri metalogenium, sedangkan pada pH netral didominasi oleh bakteri Thiobacillus thioparus. Selain itu, adanya ion Ca yang berasal dari kapur akan menetralkan ion sulfat membentuk gipsum (CaSO4) sehingga menurunkan aktivitas ion sulfat. Menunjukkan bahwa adanya penambahan kapur mencegah pemasaman, dimana pada pH dibawah 4,0, oksidasi kimia (tanpa bakteri) lebih rendah dibanding tanah yang diberi bakteri Thiobacillus ferrooxidans (oksidasi biologi). Ini artinya pada pH diatas 4,0, kemampuan oksidasi secara biologi tidak berbeda dengan secara kimia, yaitu berjalan sangat lambat. Pada percobaan tersebut, bakteri pengoksidasi pirit lainnya seperti Leptospirillum ferrooxidans atau genus Metallogenium gagal diisolat(Pairunan,1985).
                   Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi pembentukan lapisan oksidasi dan reduksi yaitu adanya faktor pencucian dari lapisan di dalam tanah yang menyebabkan tanah membentuk lapisan oksidasi atau lapisan reduksi. Kemudian pembentukan lapisan oksidasi dan redukis juga dipengaruhi oleh adanya zat- zat protein yang berhubungan langsung oleh mikroorganisme yang sangat berperang penting dalam proses oksidasi dan reduksi di dalam tanah(Anonim, 2010).
          Reaksi oksidasi dan reduksi pada tanah tersebut juga dipengaruhi berbagai aspek, baik kimia, biologi maupun fisika tanah. Ditinjau dari aspek biologi, maka kecepatan oksidasi senyawa pirit sangat ditentukan oleh peran dari bakteri pengoksidasi pirit yang disebut Thiobacillus sp.. Sedangkan dalam kondisi reduksi, pembentukan pirit atau H2S sangat ditentukan olek aktivtas bakteri pereduksi sulfat Desulfovibro sp. Karena itu dalam pengelolaan tanah sulfat masam dapat didekati melalui pemanfaatan peranan kedua bakteri tersebut. Namun aktivitas kedua bakteri tersebut dipengaruhi oleh lingkungannya, karena adanya saling ketergantungan satu sama bakteri lingkungannya(Hakim,1986).


















III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu
                 PraktikumPembentukan Lapisan Oksidasi dan Reduksi di laksanakan di Laboratorium Kimia Tanah , Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin , Makassar. Pada hari  Senin, 26 November 2010. Pada pukul 11.00  WITA – selesai.
3.2. Alat dan Bahan   
       Adapun alat  yang digunakan pada praktikum  Pembentukan Lapisan Oksidasi dan Reduksi adalah gelas kimia, botol tekstur, dan supplayer.
       Adapun bahan  yang digunakan dalam praktikum Pembentukan Lapisan Oksidasi Reduksi  adalah sampel tanah Alfisol, air, gula,  formalin dan label.
3.3. Prosedur kerja 
1. Siapkan  3 buah botol tekstur ,kemudian isi dengan tanah bertekstur liat (tanah sawah) hingga mencapai setengah botol
2. Pada botol I tambahkan air hingga penuh,botol II tambahkan pula iar gula , sedangkan botol III tambahkan air dan formalin
3. Simpang dalam waktu yang lama , amati dan bandingkan perubahan yang terjadi.











IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
         Berdasarkan hasil pengamatan Pembentukan Lapisan Oksidasi dan Reduksi  yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel  : Hasil pengamatan pada pembentukkan lapisan oksidasi dan reduksi
No
Botol Tekstur
Pengamatan Awal
Pengamatan Akhir
1
I= Air


2
II= Air + Gula


3
III= Air + Formalin



4.2. Pembahasan
                              Berdasarkan hasil yang peroleh dari praktikum ini, pada botol I terjadi proses pembentukan lapisan reduksi di dalam tanah , hal ini disebabkan karena adanya faktor pencucian pada tanah ini  sehingga menyebabkan tanah akan kurang menerima oksigen di dalam tanah ,argumen ini di perkuat oleh Hanafiah (2005) yang menyatakan bahwa salah satu pengaruh terjadinya pembentukan lapisan reduksi dikarenakan pori- pori di dalam tanah akan tertutupi oleh air sehingga tidak adanya wadah untuk oksigen yang menyebabkana tidak terbentuknya lapisan oksidasi di dalam tanah .
 Hal ini terjadi karena banyak reaksi kimia dan biologi pada proses dekomposisi bahan organik, pembentukan material tidak larut dari material yang larut. terjadi karena adanya gerakan air maupun organisme didalam tanah misalnya clay beregrak ke lapisan yang lebih dalam atau gerakan garam terlarut ke permukaan karena evaporasi. Adanya senyawa pirit merupakan salah satu penciri tanah sulfat masam dan merupakan sumber masalah pada tanah tersebut. Adanya oksidasi senyawa pirit menyebabkan tanah menjadi masam, basa-basa tercuci, kelarutan logam-logam meningkat, aktivitas mikroorganisma tanah dan kehidupan biota perairan menjadi terganggu. Proses oksidasi senyawa pirit dan reduksi dari ion atau senyawa yang dihasilkannya terjadi secara kimia dan biologi.
 Pada Botol II yang di tambahkan air gula ,proses pembentukan yang terjadinya yaitu proses pembentukan reduksi hal ini di karenakan pada air gula dikarenakan adanya genangan air yang mengandung protein tinggi hal ini sesuai dengan pendapat Fort (1994) yang menyatakan bahwa jika tanah selalu pengalami penambahan zat protein maka tanah akan lebih mudah membentuk lapisan reduksi ,umumnya tanah yang selalu mengalami penggenangan memiliki Ph di atas 7 yang bersifat basa inilah yang menyebabkan tanah akan lebih susah membentuk lapisan oksidasi. reduksi sulfat ke sulfide dalam lingkungan anarobik dilakukan oleh bakteri dan fungi. Beberapa gas dihasilkan dalam oksidasi-reduksi sulfur tersebut dan tervolatilisasi ke atmosfer dengan jumlah kurang dari 5% dari total residu sulfur. Dua gas terpenting adalah SO2 dan H2S. SO2 dari lahan basah bergabung dengan yang berasal dari industri dapat membentuk formasi hujan asam. Pada kondisi aerobik, H2S mungkin dikonsumsi oleh pengoksidasi S, dimana SO2 diserap secara kimia.
             Pada botol III yang di tambahkan formalin ,hasil pengmatan yang kita peroleh itu tidak terjadi pembentukan lapisan oksidasi atau lapisan reduksi , hali ini di karenakan pembentukan lapisan oksidasi  dan reduksi di pengaruhi oleh daya kerja mikroorganisme, hal ini sesuai dengan pendapat Hakim (1986). Yang menyatakan bahwa  mikroorganisme akan membentuk  lapisan oksidasi dan reduksi di dalam  tanah apabila di dalam tanah tersedia protein ,protein merupakan sumber energy bagi mikroorganiosme ,sehingga apabila tanah di campurkan dengan formalin maka mikroorganisme akan susah memperoleh energy di dalam tanah dan formalin juga akan mematikan mikroorganisme di dalam tanah.
     Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi pembentukan lapisan oksidasi dan reduksi yaitu adanya faktor pencucian dari lapisan di dalam tanah yang menyebabkan tanah membentuk lapisan oksidasi atau lapisan reduksi. Kemudian pembentukan lapisan oksidasi dan redukis juga dipengaruhi oleh adanya zat- zat protein yang berhubungan langsung oleh mikroorganisme yang sangat berperang penting dalam proses oksidasi dan reduksi di dalam tanah .


V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
              Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa :
·         Pada botol tekstur I  terjadi pembentukan lapisan reduksi
  • Pada botol  tekstur II terjadi pembentukan lapisan reduksi
  • Pada botol tekstur III tidak terjadi pembentukan baik lapisan reduksi maupun oksidasi
  • Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi pembentukan tanah yaitu pencucian , kandungan protein  ,dan kelangsungan hidup mikroorganisme.

5.2. Saran
            Sebaiknya pada praktikum pembentukan lapisan oksidasi dan lapisan reduksi, setiap botol yang telah di isi tanah, pemberian perlakuan harus serentak antara botol I, botol II dan botol III agar penentuan nilai atau hasil yang dilakukan mudah di dapat.















DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah, Dr. Ir. Kemas Ali. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. PT Raja Grafindo   Persada, Jakarta.

Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika pressindo.

Foth, Hendry D. 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Erlangga, Gajah MadaUniversity Press.    Yogyakarta.

Hakim, N., M. Yusuf Nyakpa, A. M. Lubis, Sutopo Ghani Nugroho, M. Amin     Diha, Go Ban Hong, H. H. Bailey, 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung.

Pairunan, Anna K., J. L. Nanere, Arifin, Solo S. R. Samosir, Romualdus Tangkaisari, J. R. Lalopua, Bachrul Ibrahim, Hariadji Asmadi, 1985. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur


        



















                                                
LAPORAN PRAKTIKUM
REAKSI OKSIDASI DAN REDUKSI




NAMA                      : SRI SAHRIANI
NIM                          : G111 10 262
PRODI                      : AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS            : PERTANIAN
KELOMPOK          : III
ASISTEN                 : RIAN SANTOSO





LABORATORIUM KIMIA TANAH
JURUSAN ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2010