Selasa, 10 Mei 2011

Penyuluhan dan Gender

Penyuluhan pertanian sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum merupakan hak asasi warga negara Republik Indonesia. Sektor pertanian yang berperan penting dalam pembangunan nasional memerlukan sumberdaya manusia yang berkualitas, andal, serta berkemampuan manajerial, kewirausahaan dalam melaksanakan usahanya. Dengan demikian pelaku pembangunan pertanian mampu membangun usaha dari hulu sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi dan berperan serta dalam melestarikan lingkungan usahanya sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.Penyuluhan pertanian mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan pertanian, khususnya dalam pengembangan kualitas pelaku utama dan pelaku usaha. Penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, effisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya. Sebagai kegiatan pendidikan, penyuluhan pertanian adalah upaya untuk membantu menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif bagi pelaku utama dan keluarganya, serta pelaku usaha.
Beberapa tahun belakangan ini istilah gender menjadi bahan perbincangan yang hangat di berbagai forum dan media, formal maupun informal. Hampir setiap bidang pembangunan menganjurkan dilaksanakannya analisis gender dalam komponen program. Namun, tidak sedikit pula yang masih menganggap bahwa Gender adalah sama dengan jenis kelamin atau lebih sempit lagi, gender = perempuan. Hal ini tidak mengherankan mengingat memang lebih banyak kaum perempuan yang mendapat dampak dari ketidakadilan gender dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat, daripada kaum laki-laki. Sehingga, ketika masalah gender diperbincangkan, seolah-olah hal tersebut telah identik dengan masalah kaum perempuan.
Ditinjau dari jumlah penduduk dan kondisi perempuan di Indonesia pengarusutamaan gender di dalam program-program pembangunan sangat diperlukan. Terlebih-lebih bila dilihat dari kondisi kritis yang terus berkepanjangan, dimana perempuan terkena dampak yang paling berat. Hal ini antara lain masih kuatnya budaya bahwa perempuan sebagai pengurus dan pengelola keluarga/rumah tangga. Dilihat dari kondisi perempuan Indonesia saat ini ternyata masih sangat memerlukan penanganan yang cukup serius terutama dari segi kebijaksanaan. Berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa berbagai program pembangunan masih bias laki-laki. Akibatnya program-program pembangunan yang dilaksanakan tidak dapat memenuhi sasarannya dengan tepat. Masyarakat pada umumnya belum banyak dilibatkan baik di dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan, dan hanya berperan sebagai pelaksana pembangunan. Partisipasi perempuan dalam kegiatan pembangunan relatif rendah dan masih terbatas pada aspek yang erat hubungannya dengan sektor domestik atau reproduksi. Hal ini sangat jauh dengan peran gender perempuan yang nyata di dalam masyarakat. Bahkan perempuan masih dianggap menyalahi kodrat bila memasuki dunia kebijakan atau politik. Terdapat perbedaan peran gender antara norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat dengan kenyataan yang ada, dan peran gender berbeda berdasarkan spesifik lokasi. Masih banyak dijumpai faktor sosial budaya yang membatasi kebijakan pengarusutamaan gender di dalam pembangunan, baik yang berasal dari norma-norma yang terdapat di dalam masyarakat, maupun di dalam kondisi keluarga/rumah tangga. Peran perempuan berbeda baik antara lokasi, waktu, maupun kelas sosial ekonomi. Oleh karena itu kebijaksanaan penyeragaman pembangunan merupakan suatu tindakan yang tidak efektif dan efisien.
Di dalam masyarakat agraris paling tidak ditemukan tiga pandangan/ anggapan mengenai hubungan pria-wanita di dalam masyarakat agraris (White dan Hastuti. 1980), (1) kedudukan pria-wanita itu “berbeda tetapi setara”. Di dalam pandangan ini peranan pria dan wanita adalah peran yang saling melengkapi dan untuk “kepentingan bersama”. Menurut pandangan ini, pemisahan peran dan pengaruh antar jenis kelamin mencerminkan sifat komplementer dalam upaya mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan rumah tangga dan masyarakat. Pandangan ini masih banyak dianut oleh ahli-ahli ilmu sosial, anggota masyarakat, dan dibenarkan dalam program-program pembangunan serta berbagai macam idiologi ataupun norma-norma masyarakat. Namun implementasinya ternyata jauh berbeda, karena setiap program pemerintah dianggap bermanfaat bagi keduanya, meskipun seringkali manfaat sebenarnya hanya bermanfaat bagi salah satu jenis kelamin saja. (2) “Berbeda dan tidak setara”, dua pandangan yang saling bertentangan, dimana “kekuasaan perempuan nyata tapi tersembunyi”, dan adanya “penundukan perempuan nyata tapi tersembunyi”. Konsep pembangunan yang diterapkan di seluruh dunia kini adalah konsep barat, yang pada intinya akan mengubah alam kehidupan tradisional menjadi modern yang diwujudkan dalam struktur ekonomi industri untuk menggantikan struktur ekonomi pertanian. Di dalam masyarakat seringkali perempuan menjadi warga kelas dua, dan menjadi obyek dari berbagai upaya perubahan yang disusun dalam kerangka berfikir yang mengacu pada asumsi yang sangat bias laki-laki. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang menjelaskan mengapa perempuan tertinggal atau ditinggalkan dalam proses pembangunan. Pada umumnya di dalam program-program pembangunan di tingkat provinsi, kabupaten maupun desa baik laki-laki maupun perempuan tidak dilibatkan dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan. Hampir semua program kebijaksanaan bersifat top down, sehingga masyarakat hanya tinggal sebagai pelaksana program tersebut. Norma-norma tradisional seringkali masih tetap dijadikan acuan di dalam menyususn program kebijaksanaan, dan terjadi penyeragaman kebijakan untuk pembangunan di pedesaan.
Di dalam program penyuluhan pertanian (Sukesi, et.al., 1991) ditemukan kenyataan bahwa:
1. Akses perempuan ke penyuluhan pertanian, persepsi dan aspirasi perempuan perlu masih perlu ditingkatkan
2. Pada komoditi tebu perempuan bayak berperan pada kegiatan usaha tani, sedang pada komoditi kedelai keterlibatan perempuan relatif kecil. Etnis memberikan variasi pada pembagian kerja gender pada liam komodity yang diteliti
3. Dalam penyuluhan pertanian sasaran utama adalah laki-laki
Demikian pula meskipun di bidang peternakan perempuan mempunyai peran yang cukup penting, namun partisipasinya di dalam progrm penyuluhan relatif rendah (Homzah, 1987). Secara relatif program penyuluhan yang ditujukan kepada perempuan tani di pedesaan tidak didesain khusus untuk menjangkau kelompok perempuan tani sesuai dengan fungsi dan peranannya, serta belum menerapkan pendekatan yang paling tepat untuk kelompok didik yang dituju (Sulaiman, 1997). Faktorsosial budaya yang mengakibatkan ketidaksetaraan gender dan merupakan kendala bagi perempuan telah mengakar kuat pada kehidupan sosial ekonomi dan budaya selama berabad-abad menyebabkan kurangnya kesadaran dan pemahaman gender. Secara umum akses dan kontrol perempuan pada kelembagaan dan organisasi baik yang bersifat formal maupun tradisional baru sebatas pada kelembagaan yang erat hubungan dengan peran gender perempuan. Misalnya pada organisasi PKK, arisan, pengajian dan sebagainya. Bahkan terdapat kecenderungan bahwa organisasi-organisasi yang dibentuk dan diperkenalkan oleh pemerintah baru dapat dijangkau oleh golongan rumah tangga mampu.
Agar terwujudnya kesetaraan gender adalah dari sisi perempuan sendiri, di mana masih banyak dari mereka yang belum mempunyai kesadaran tinggi untuk memperjuangkan hak-haknya disebabkan masih terpenjara oleh ideologi patriarkhi. Akibatnya, mereka belum dapat mengoptimalkan potensi yang mereka miliki. Pada gilirannya kondisi ini menyebabkan Human Development Index (HDI) Indonesia (yang dilihat dari tingkat pendidikan, kesehatan dan ekonomi) masihrendah, jauh lebih rendah di bawah negara tetangga kita seperti Singapura dan Malaysia.
Meskipun tidak secara eksplisit Penulis buku ini menyebutkan perlunya sebuah proses penyuluhan berperspektif gender, akan tetapi dari runtutan penuturannya, tampak bahwa salah satu upaya menumbuhkan kesadaran dan motivasi diri di kalangan kaum perempuan adalah melalui proses penyuluhan, tepatnya penyuluhan yang berperspektif gender. Artinya, suatu penyuluhan yang berorientasi pada upaya memberdayakan kaum perempuan dan sekaligus menjembatani kesenjangan gender yang ada di banyak bidang. Dengan paradigma tersebut, maka seorang penyuluh diharapkan tidak melakukan langkah-langkah yang masih buta gender. Sebagai contoh, dengan fakta bahwa kaum perempuan juga terlibat dalam bidang pertanian, maka seorang penyuluh pertanian hendaknya juga memiliki komitmen untuk ikut memberdayakan petani perempuan. Demikian juga untuk bidang-bidang lainnya. Atas dasar hal tersebut, maka buku ini juga perlu dibaca oleh mereka-mereka yang terlibat dan concern di bidang penyuluhan, termasuk para pembuat kebijakan dan akademisi.

Sumber :
• http://feati.deptan.go.id/dokumen/pedoman_fma.pdf
• http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/%288%29%20soca-endang-hambatan%20sosbud%281%29.pdf
• http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/42845/Resensi%20Buku.pdf?sequence=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar